Seringkali kita sebagai manusia berpikir
secara dikotomi sederhana dalam menilai sesuatu seperti benar-salah, baik-buruk,
atraktif-tidak atraktif dan seterusnya. Pemikiran dikotomi tersebut juga muncul
saat mempelajari perilaku manusia. Para ahli sering memperdebatkan dan
mempertanyakan tentang perilaku itu sebenarnya fisiologis atau psikologis ?
Kemudian perilaku itu diwarisi atau dipelajari ?
Perilaku : Fisiologis atau Psikologis ?
Pertanyaan dikotomi ini berlangsung sejak
zaman renaissance atau rebirth (kelahiran kembali) yang
berlangsung pada tahun 1400-1700. Salah satu tokoh renaissance, yaitu Rene
Descartes (1650-1696) mengemukakan bahwa alam semesta ini terdiri dari dua
elemen penting, yaitu :
1) Elemen
fisik, yang bekerja menurut hokum alam sehingga menjadi objek yang sesuai untuk
investigasi ilmiah. Tubuh manusia maupun binatang termasuk otak dianggap
sepenuhnya fisik.
2) Human mind (jiwa, self, roh)
dianggap tidak memiliki substansi fisik, berperan dalam mengontrol perilaku
manusia dan tidak tunduk pada hokum alam.
Dua elemen dari alam semesta tersebut
dijuluki dengan istilah cartesian dualism
(dualism cartesian). Dualisme antara elemen fisik dan mind tersebut diyakini terpisah hingga saat ini terlepas dari ilmu
pengetahuan yang semakin berkembang. Namun, banyak juga yang memahami bahwa
keduanya tidak terpisah, dalam hal ini perilaku manusia yang dipelajari dalam
ilmu psikologi memiliki dasar fisiologis atau biologis (seperti peran otak
dalam mengatur perilaku). Kaitan antara faktor fisik dan psikis dapat diketahui
dengan memperlihatkan peran otak dalam memengaruhi perilaku manusia seperti
melihat, bergerak, berbicara, berpikir, menyentuh, mendengar, membau, dan
mengecap.
Perilaku : Diwarisi atau Dipelajari (Nature atau Nurture)
?
Selama berabad-abad para ilmuwan berdebat
tentang perilaku manusia maupun binatang lain sebagai hasil dari warisan/
keturunan atau merupakan hasil dari belajar ? Perdebatan awalnya terjadi antara
psikolog eksperimental Amerika Utara dengan psikolog Eropa.
Psikolog Amerika Utara berkomitmen secara
total bahwa perilaku merupakan hasil belajar; salah satu tokohnya, yaitu John.
B Watson (bapak behaviorisme)
menyatakan bahwa tidak ada bukti nyata tentang pewarisan sifat (perilaku).
Beliau yakin bahwa seorang bayi sehat yang dilahirkan oleh seorang pembunuh,
pelacur, pencoleng, bajingan akan menjadi anak baik-baik bila dibesarkan dengan
baik. Bahkan beliau sanggup untuk membesarkan selusin bayi sehat untuk dilatih
dan dijadikan ahli dalam bidang apapun yang dipilihnya, seperti dokter,
pengacara, seniman, bahkan pengemis atau pencuri sekalipun.
Psikolog Eropa mengkaji perilaku dengan
pendekatan Ethology (etologi, yaitu
kajian perilaku binatang di alam liar). Etolog Eropa memfokuskan pada kajian
tentang perilaku instingtif, yaitu
perilaku yang dilakukan oleh seluruh anggota suatu spesies meskipun sebelumnya
mereka tidak mempelajari perilaku tersebut dan menekankan adanya peran alam,
contohnya perilaku menyusui pada mamalia. Jadi, para etolog meyakini bahwa
perilaku itu sepenuhnya diwarisi.
Permasalahan yang muncul dari berpikir dikotomi
terhadap biologi perilaku ?
Pemikiran dikotomi tentang perilaku itu
psikologis atau fisiologis, diwarisi atau dipelajari merupakan cara berpikir
yang tidak tepat atau tradisional tentang biologi perilaku. Mengapa ?
1.
Adanya Bukti
Fisiologis Berkaitan dengan Psikologis Manusia
Terdapat beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa faktor fisiologis dan psikologis itu saling
terkait dan tidak terpisah. Bukti pertama adalah banyaknya hasil penelitian
yang menunjukkan adanya perubahan psikologis paling kompleks sekalipun seperti
kesadaran diri (self awareness),
ingatan atau emosi disebabkan oleh adanya kerusakan atau masalah pada
bagian-bagian otak tertentu yang mengaturnya.
Contoh kasusnya
ditulis oleh Oliver Sack (1985) tentang “laki-laki yang jatuh dari tempat tidur”,
ilustrasinya laki-laki tersebut mengalami gangguan asomatognosia (berkurangnya
kesadaran tentang bagian-bagian tubuhnya sendiri) dalam hal ini tidak tahu
dimana kaki kirinya berada. Asomatognosia ini biasanya melibatkan bagian sisi
kiri tubuh akibat dari adanya kerusakan pada lobus parietal kanan. Hal ini
menunjukkan bahwa gangguan perilaku manusia dipengaruhi oleh adanya kerusakan
pada otak.
Bukti kedua adalah
banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa spesies non manusia memiliki
kemampuan seperti perilaku manusia (psikologis) yang sifatnya manusiawi.
Contoh kasusnya,
penelitian tentang kesadaran diri (awareness) simpanse yang diteliti oleh G.G. Gallup (Pinel, 2009). Inti kasusnya menyebutkan bahwa simpanse (nonmanusia) yang diasumsikan tidak memiliki mind seperti manusia, ternyata memiliki kapasitas yang cukup tinggi dalam hal kompleksitas psikologis seperti kesadaran diri yang menyiratkan adanya mind pada simpanse. Hal ini terlihat saat alis dan daun telinga simpanse diberi pewarna kemudian dihadapkan pada cermin, maka simpanse akan sadar diri dengan melihat ke cermin dan akan menyentuh tanda-tanda aneh yang terlihat di alis serta daun telinganya.
2. Munculnya
Pemikiran yang Menunjukkan bahwa Perilaku Dipengaruhi Nature maupun Nurture
Pemikiran pertama,
perilaku dalam perkembangannya tidak hanya dipengaruhi faktor genetik dan hasil
belajar saja, tetapiada faktor lain yang memengaruhinya, seperti lingkungan, nutrisi, stres dan stimulasi indrawi (pengalaman) sehingga konsep nurture menjadi lebih luas sampai memasukkan beragam faktor pengalaman selain faktor belajar. Hal ini mengakibatkan pemikiran dikotomi nature-nurture berubah menjadi faktor genetik dan pengalaman.
Selanjutnya ada juga pendapat yang mengatakan bahwa perilaku merupakan gabungan antara nature dengan nurture dan bukan dikontrol salah satunya saja, sehingga banyak orang yang hanya mengganti istilah nature-nurture dengan istilah lain seperti genetik dengan pengalaman. Akhirnya pertanyaan yang muncul dari para ahli adalah seberapa besar perilaku yang bersifat genetik dan seberapa banyak perilaku yang dihasilkan oleh pengalamannya ? Namun, pertanyaan tersebut dianggap kurang fundamental karena sebenarnya faktor genetik dan pengalaman saling memengaruhi. Berikut ini adalah ilustrasi kelemahan yang mencoba memehami interaksi antara dua faktor dengan menanyakan berapa besar kontribusi masing-masing faktor.
Ada mahasiswa yang pernah membaca bahwa intelegensi sepertiga genetik dan dua pertiga dari pengalaman, lalu ia bertanya apakah itu benar adanya ?
Pada mahasiswa tersebut ditanya dan diberi pertanyaan. Apabila kita mendengarkan musik yang sangat indah, untuk memahami musik itu sendiri apakah masuk akal bila bertanya pada awalnya "seberapa banyak musik itu berasal dari musisi dan seberapa banyak yang berasal dari alat musiknya sehingga menghasilkan suara musik yang indah ? Mahasiswa tersebut menjawab bahwa hal tersebut tidak mungkin dijawab karena musik adalah kombinasi antara keahlian pemainnya dengan keindahan bunyi yang dihasilkan alat musiknya. Demikian pula dengan intelegensi merupakan hasil kombinasi antara faktor genetik dan pengalaman (Pinel, 2009).
Oleh karena itu, dengan adanya bukti-bukti dan pemikiran baru dalam mempelajari perilaku manusia, maka para ahli biopsikologi memiliki cara berpikir yang berbeda dari cara berpikir dikotomi yang tidak tepat dan mempertanyakan seberapa besar peran masing-masing faktor yang memengaruhi biologi perilaku.
Para ahli biopsikologi menggunakan cara berpikir yang sederhana dan logis dengan sebuah model pemikiran. Model ini menggambarkan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi antara tiga faktor, yaitu : (1) sumbangan genetik organisme yang merupakan produk dari evolusinya, (2) pengalamannya, (3) persepsinya tentang situasi saat ini.
Sumber : Ira Puspitawati, dkk. 2012. Psikologi Faal. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal 8-13
Selanjutnya ada juga pendapat yang mengatakan bahwa perilaku merupakan gabungan antara nature dengan nurture dan bukan dikontrol salah satunya saja, sehingga banyak orang yang hanya mengganti istilah nature-nurture dengan istilah lain seperti genetik dengan pengalaman. Akhirnya pertanyaan yang muncul dari para ahli adalah seberapa besar perilaku yang bersifat genetik dan seberapa banyak perilaku yang dihasilkan oleh pengalamannya ? Namun, pertanyaan tersebut dianggap kurang fundamental karena sebenarnya faktor genetik dan pengalaman saling memengaruhi. Berikut ini adalah ilustrasi kelemahan yang mencoba memehami interaksi antara dua faktor dengan menanyakan berapa besar kontribusi masing-masing faktor.
Ada mahasiswa yang pernah membaca bahwa intelegensi sepertiga genetik dan dua pertiga dari pengalaman, lalu ia bertanya apakah itu benar adanya ?
Pada mahasiswa tersebut ditanya dan diberi pertanyaan. Apabila kita mendengarkan musik yang sangat indah, untuk memahami musik itu sendiri apakah masuk akal bila bertanya pada awalnya "seberapa banyak musik itu berasal dari musisi dan seberapa banyak yang berasal dari alat musiknya sehingga menghasilkan suara musik yang indah ? Mahasiswa tersebut menjawab bahwa hal tersebut tidak mungkin dijawab karena musik adalah kombinasi antara keahlian pemainnya dengan keindahan bunyi yang dihasilkan alat musiknya. Demikian pula dengan intelegensi merupakan hasil kombinasi antara faktor genetik dan pengalaman (Pinel, 2009).
Oleh karena itu, dengan adanya bukti-bukti dan pemikiran baru dalam mempelajari perilaku manusia, maka para ahli biopsikologi memiliki cara berpikir yang berbeda dari cara berpikir dikotomi yang tidak tepat dan mempertanyakan seberapa besar peran masing-masing faktor yang memengaruhi biologi perilaku.
Para ahli biopsikologi menggunakan cara berpikir yang sederhana dan logis dengan sebuah model pemikiran. Model ini menggambarkan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi antara tiga faktor, yaitu : (1) sumbangan genetik organisme yang merupakan produk dari evolusinya, (2) pengalamannya, (3) persepsinya tentang situasi saat ini.
Sumber : Ira Puspitawati, dkk. 2012. Psikologi Faal. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal 8-13
Belum ada tanggapan untuk " BIOLOGI PERILAKU "
Post a Comment