INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR GENETIK DENGAN PENGALAMAN DALAM MENGARAHKAN ONTOGENI PERILAKU



Berikut ini terdapat dua contoh yang menggambarkan adanya interaksi antara faktor-faktor genetik dengan pengalaman dalam mengarahkan ontogeni perilaku. Ontogeni adalah perkembangan individu selama hidupnya, sebaliknya filogeni adalah perkembangan evolusioner spesies selama berabad-abad.
a.        Selective breeding (seleksi perkembangbiakan) tikus maze-bright (tikus pintar) dan tikus maze-dull (tikus bodoh)
Seleksi perkembangbiakan “maze-bright” dengan “maze-dull” merupakan eksperimen dari Tryon (1994) yang menyatakan bahwa perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh faktor belajar atau pengalaman saja, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor genetic, dalam hal ini adalah perkembangbiakan selektif.

Dalam eksperimen ini, Tryon mencoba pengembangbiakan selektifnya pada perilaku belajar yang dikembangkan para psikolog, yaitu jalur maze para tikus laboratorium. Tryon memulai dengan melatih heterogen tikus laboratorium untuk menyusuri jalur maze yang rumit, tikus akan menerima hadiah makan bila sampai boks tujuan. Lalu ia menjodohkan tikus jantan dan tikus betina yang paling jarang masuk boks yang sudah selama latihan (disebut maze-bright). Ia juga mengawinkan tikus jantan dan tikus betina yang paling sering masuk boks yang salah selama latihan (disebut maze-dull). (Pinel, 2009).

Ketika anak-anak dari maze-bright dan maze-dull sudah matang secara seksual. Anak-anak maze-bright yang paling pintar saling dikawinkan, begitu juga dengan anak-anak maze-dull yang paling bodoh dikawinkan. Prosedur ini dikembangbiakkan secara selektif sampai 21 generasi. Pada generasi ke delapan dikatahui hampir tidak ada perbedaan dengan generasi awal dalam kinerja “maze-learning” dari dua keturunan tersebut, dengan beberapa pengecualian, yaitu yang terburuk diantara keturunan “maze-bright” melakukan lebih sedikit kesalahan dibanding yang terbaik keturunan “maze-dull”.
Untuk mengontrol apakah kinerja “maze learning” merupakan hasil belajar yang diturunkan dari orangtua tikus pada anaknya, Tryon menggunakan Cross-fostering control procedure (asuh silang): ia menguji anak-anak dari “maze-bright” dibesarkan oleh orangtua “maze-dull” dan sebaliknya anak dari “maze-dull” dibesarkan orang tua “maze-bright”, hasilnya anak-anak “maze-bright” tetap melakukan lebih sedikit kesalahan dibandingkan anak-anak “maze-dull” yang lebih banyak melakukan kesalahan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik memengaruhi perkembangan perilaku.
Contoh yang menunjukkan bahwa faktor belajar atau pengalaman juga memengaruhi perkembangan perilaku dibuktikan juga oleh Cooper dan Zubek (1958) dalam eksperimennya. Ia menempatkan maze-bright dan maze-dull pada dua kondisi lingkungan : (1) lingkungan yang terbatas fasilitasnya, yaitu dengan kandang yang kering dan tandus, (2) lingkungan yang kaya fasilitas, yaitu dengan kandang yang memiliki banyak terowongan, lerengan, berbagai display visual dan objek untuk menarik minat.
Hasil dari eksperimen Cooper dan Zubek diketahui bahwa maze-dull lebih banyak melakukan kesalahan dibanding maze-bright hanya bila mereka ditempatkan pada lingkungan yang terbatas fasilitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang kaya akan fasilitas dapat mengatasi efek negatif gen yang kurang menguntungkan bahkan dapat mempertebal korteks serebral mereka (Bennet et al, 1964)

b.        Phenylketonuria (PKU) : Gangguan metabolism gen tunggal
Dalam memahami genetika perilaku normal seringkali lebih sulit dibandingkan dalam memahami genetika perilaku abnormal. Hal ini disebabkan oleh adanya banyak gen yang memengaruhi perilaku normal, sedangkan untuk perilaku abnormal terkadang hanya dibutuhkan satu gen abnormal saja yang menimbulkan gangguan perilaku. Contohnya adalah PKU ini :

PKU awalnya ditemukan oleh seorang dokter gigi Norwegia, Asbjorn Folling. Ia menemukan bau aneh pada urine kedua anaknya yang mengalami retardasi mental. Ia menduga bau urine tersebut berhubungan dengan retardasi mental yang dialami anaknya, lalu ia menganalisis urine anaknya. Hasilnya ditemukan adanya kadar phenylpyruvic acid (asam fenilpiruvik) yang tinggi pada urine mereka, ia pun mengidentifikasi bahwa anak dengan retardasi mental memiliki kadar asam fenilpiruvik yang tinggi melampaui batas normal dan mengalami gangguan yang sama. Selain retardasi mental, gejala PKU yang lain adalah muntah-muntah, hiperaktif, kejang-kejang, hiperiritabilitas dan kerusakan otak (Ansthel & Waisbern, 2003; Sener, 2003 dalam pinel, 2009).

Pola transmisi silsilah keluarga individu yang menderita gangguan ini menunjukkan bahwa PKU ditransmisikan oleh mutase gen. Sekitar 1 diantara 10 orang keturunan Eropa membawa gen PKU, tetapi karena gennya resesif hanya terjadi pada individu yang homozigot (mewarisi gen PKU dari ayah atau ibunya saja) PKU berkembang.
Biokimia PKU cukup sederhana, yaitu homozigot PKU kekurangan phenylalanine hydroxylase (sebuah enzim yang dibutuhkan untuk mengobservasi asam amino phenylalanine menjadi thyrosin). Akibatnya phenylalanine ini terakumulasi dalam tubuh; dan kadar dopamin, neurotransmitter yang disintesiskan dari tirosin menjadi rendah. Konsekuensinya perkembangan otak menjadi abnormal. Hal ini menunjukkan perilaku dipengaruhi genetik.
Pada beberapa rumah sakit modern, bayi yang baru lahir di screen (disaring) untuk melihat kadar fenilalaninnya tinggi atau tidak, bila tinggi kadarnya, bayi akan diberi diet khusus dengan jumlah phenylalanine yang terbatas. Diet ini akan mengurangi jumlah phenylalanine dalam darah sekaligus mengurangi perkembangan retardasi mental, tetapi hal ini tidak mencegah perkembangan berbagai defisit kognitif.
Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan PKU adalah hasil dari interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan (diet phenylalanine). Dalam kasus ini jika pemberian diet dilakukan sejak awal kehidupan, maka efeknya akan lebih jelas terlihat mengurangi perkembangan retardasi mental dibandingkan bila diberikan ketika anak sudah besar dan otak sudah berkembang sempurna pengaruhnya hampir tidak terlihat.

Sumber : Buku Ira Puspitawati, dkk. 2012. Psikologi Faal. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal 14 -16

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk " INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR GENETIK DENGAN PENGALAMAN DALAM MENGARAHKAN ONTOGENI PERILAKU "

UA-77170162-1